Senin, 08 Agustus 2022, 11:28 WIB

Prabowo Penentu Jumlah Formasi Koalisi di Pilpres 2024

Prabowo Penentu Jumlah Formasi Koalisi di Pilpres 2024

ParwaInstitute.id- Dalam program Bioskop Politik (BIOTIK) Parwa bertempa “Potensi Koalisi Parpol di Pemilu 2024” pada 29 Juli 2024, Sekretaris Jenderal DPN Gelora Indonesia Mahfuz Sidik menjelaskan bahwa peluang formasi koalisi untuk Pilpres termasuk siapa yang menjadi kandidat Capres-Cawapres, bisa jadi sesuatu yang akan sangat dinamis karena masih punya waktu relatif panjang.

 

Pemilu 2024 juga tahap transisi bagi kemunculan tokoh-tokoh baru yang ini merupakan peralihan generasi. Jadi situasi ini masih mungkin sangat dinamis sehingga kita membuat proyeksi, sangat mungkin nanti dalam perjalanan bahwa akan muncul variabel-variabel baru yang bisa bukan saja mengkonsolidasi pilihan-pilihan tetapi juga membuat atau menciptakan varian-varian baru.

 

“Berbicara Pilpres, formasi koalisi untuk Pilpres, inilah yang saya sebut sebagai bagian dari anomali sistem kepemiluan kita karena sejak 2019 lalu merujuk pada keputusan MK, Pilpres dan Pileg dilaksanakan secara bersamaan, saya kira penerapan presidential threshold ini menjadikan sistem Pemilu di Indonesia the most complicated system in the world, sistem yang paling rumit di dunia. Pengalaman di 2019 lalu sebenarnya memunculkan kontradiksi atau bahkan anomaly,” tuturnya.

 

Melihat konstitusi atau UU, Mahfuz menerangkan bahwa Parpol adalah institusi politik utama yang salah satu fungsinya adalah rekruitmen politik. Tetapi ketika Pipres dan Pileg dilakukan secara bersamaan, pengalaman 2019 ternyata perhatian masyarakat dan pemilih lebih besar kepada Pilpres ketimbang ke Pileg. Padahal di dalam proses politik kepemiluan, institusi utamanya adalah Parpol.

 

“Kalau institusi utamanya adalah Parpol, maka sesungguhnya sistem Pemilu-pun harus menjamin proses pembangunan Parpol-nya. Tetapi yang terjadi di Pemilu 2019 ketika perhatian pemilih lebih dominan kepada Pilpres dan itu ditunjukan pada tingkat partisipasi yang lebih tinggi Pilpres ketimbang Pileg. Lalu jumlah suara tidak sah di Pileg jauh lebih tinggi dengan jumlah suara yang tidak sah di Pilpres,” ujarnya.

 

Jadi, lanjutnya, ini kontradiksi bahwa keserentakan ini justru sebenarnya mengganggu atau melemahkan pembangunan institusi utama politik, yaitu Parpol. Dalam Konstitusi dan UU, Parpol menjadi institusi official yang punya legitimasi untuk mencalonkan Capres-Cawapres, tetapi ketika Pilpres dan Pileg dilakukan secara bersamaan dan kemudian industri survei dan komunikasi politik juga semakin merebak, maka kita mulai melihat bahwa ternyata antara Parpol dan kandidat Capres-Cawapres itu tidak selalu in line, tidak selalu sebangun.

 

“Kita bicara Parpol yang mengusung pasangan Capres-Cawapres tetapi kemudian kita bicara tokoh-tokoh yang tidak selalu orang Parpol atau pimpinan Parpol sebagai kandidat utama yang muncul dalam survei, Anies Baswedan misalnya dia bukan pimpinan Parpol tetapi kemudian survei misalnya dan komunikasi publik yang berkembang memunculkan sebagai salah satu kandidat kuat dan bisa jadi muncul nama-nama yang lain, misalnya Andika.

 

“Ini yang saya sebut anomali, yang muncul ketika sistem kepemiluan dilakukan secara serentak antara Pileg dengan Pilpres sehingga sulit mendefinisikan mana ruang berbicara pembangunan Parpol melalui legislatif dan mana ruang berbicara Pilpres dalam konteks rekruitmen kepemimpinan nasional,” tegasnya.

 

“Itulah sebabnya kenapa Gelora mengajukan Judicial Review yang sudah diputus oleh MK walaupun legal standing dan basis argumentasi hukumnya diterima, dan MK mengatakan yang digugat ini belum pernah diputus sebelumnya tetapi MK yang memutuskan belum ada dasar hukum baru atau pertimbangan situasi yang mendesak untuk MK mengubah pandangan atau keputusannya. Jadi menerima takdir kembali bahwa 2024, Pilpres dan Pileg dilakukan secara serentak,” imbuhnya.

 

Oleh karena itu, Mahfuz melanjutkan bahwa pada akhirnya yang saya bayangkan hiruk pikuk Pemilu 2024 akan didominasi oleh Pilpres dan yang menjadi korban adalah Parpol dalam konteks kerja Pileg.  Misalnya, problem pertama adalah bisa saja Parpol terikat konflik oleh nama-nama yang muncul dalam bursa survei yang bukan orang Parpol, tetapi sepertinya Parpol tidak punya pilihan padahal mestinya Parpol dia harus mampu mempromosikan Pimpinan Parpolnya. Untuk apa mendirikan Parpol kalau kemudian kendaraan ini dipakai orang lain.

 

Problem kedua, ketika misalnya kita membayangkan kontestasi di Pemilu 2024, misalnya diikuti oleh sekitar 20 Parpol, kan Cuma 9 Parpol yang sudah punya tiket untuk mencalonkan Capres-Cawapres tetapi semua Parpol by law atau regulation diharuskan ikut dalam formasi pencalonan. Gelora atau Parpol baru nanti harus punya Capres-Cawapresnya tetapi tidak punya tiket atau hak untuk mencalonkan orang.

 

“Artinya apa, ada Parpol yang kemudian tidak dalam posisi yang equal didalam konstestasi dan tentu saja ada partai yang hanya sebatas penggembira dan ada partai yang tidak punya calon tetapi mungkin mendapatkan cocktail effect. Bahkan ada partai dia penggembira tidak punya calon tetapi kemudian menerima resiko seperti pada Pemilu 2019 ada Parpol yang mendukung Capres-Cawapres tertentu tetapi tidak mendapatkan cocktail effect bahkan suaranya turun karena basis konstituennya punya basis perefernsi yang berbeda dengan Capres yang diusung oleh Parpol itu,” katanya.

 

Mahfuz menegaskan bahwa sebagai Parpol baru, terus terang, akan dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit dengan Pileg dan Pilpres dilakukan secara serentak. Logika pembangunan politik bagi Parpol baru adalah dia fokus pada Pileg dan kalaupun terlibat dalam Pilpres, Pilpres itu harus memberikan Cocktail Effect. Jangan sampai suara Pilegnya malah anjlok, gara-gara mendukung Capres tertentu, harusnya nambah.

 

“Merujuk pada tiket yang dimiliki oleh Parpol di 2019, yang kita tidak bayangkan ada formasi koalisi yang terlalu banyak, paling antar dua sampai 3 formasi koalisi. PDIP menjadi poros sendiri, kemudian KIB sudah mulai membuat poros tetapi apakah menjadi poros permanen atau nanti ditengah jalan bubar jalan, tergantung siapa orang yang mereka akan dorong untuk menjadi Capres-Cawapres. Lalu kemudian ada poros Gerindra-PKB, dan keempat poros NasDem yang berupaya mendukung, misalnya kita sebut salah satunya adalah Anies Baswedan,” tegasnya.

 

Tetapi 4 poros ini tentu saja masih sangat dinamis, Mahfuz melanjutkan bisa jadi 4 pasangan formasi Capres-Cawapres, bisa juga menggerucut hanya menjadi tiga atau bahkan 2. Prabowo menjadi penetu apakah formasinya menjadi 2 atau 3, saya kira ada alasan untuk itu karena belajar dari Pemilu 2019, Parpol yang punya Capres relatif bisa menjaga basis konstituensi untuk Pilegnya.

 

“Jadi kira-kira logika berpikirnya begini, jika Prabowo maju maka setidaknya suara Pileg Gerindra pada Pemilu 2019 bisa dijaga, syukur-syukur bisa bertambah, tetapi jika Prabowo tidak maju sebagai Capres maka Gerindra harus berjuang keras untuk menjaga perolahan suara Pileg dari 2019 lalu,” untainya.

 

“Saya kira Parpol lain juga berlajar dari itu, KIB salah satu contoh jika memunculkan Capres di luar tiga partai saya tidak yakin apakah masing-masing 3 partai akan mendapatkan efek positif bagi Pemilu legislatifnya. Hal yang saya ingin melemparkan pertanyaan penting bagi kita semua bagaimana di Pemilu 2024, Pileg ini tidak terdistorsi oleh Pilpres?. Jangan sampai Pileg rasa Pilpres, kalau Parpol besar yang punya Capres, ya oke oke saja tetapi bagi sahabat-sahabat Parpol baru bisa jadi musibah,” pungkasnya.

Share